
JAKARTA- Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) berencana merestrukturisasi Lembaga Dana Pensiun (Dapen) BUMN yang jumlahnya sekitar 41 Dapen. Langkah ini dilakukan guna menjaga kondisi kesehatan keuangan Dapen tersebut. Khususnya dalam hal memenuhi kewajiban membayar pensiun kepada karyawan BUMN yang memasuki masa pensiun. “Jangan sampai ada gap yang besar hingga tidak bisa membayar kewajiban,” ungkap Kartika Wirjoatmodjo, Wakil Menteri BUMN seperti ditulis www.kontan.co.id.
Kartika menambahkan, saat ini Kementerian BUMN telah mereview performa dapen BUMN. Salah satunya adalah audit meliputi aset-aset investasi dari Dapen. Mengingat Dapen BUMN sebahagian besar saat pendiriannya memilih program pensiun manfaat pasti (PPMP), di mana rata-rata hanya memiliki rasio kecukupan dana (RKD) di kisaran 93%, dimana seharusnya batas RKD adalah 100%.
Sebelumnya, pada pertengahan Januari lalu, Erick Thohir, Menteri Negara BUMN mengungkapkan, berdasarkan laporan yang dia terima terkait Dapen BUMN, ternyata 65% dana pensiun BUMN bermasalah dan hanya 35% saja yang mampu mengelola dana pensiunnya dengan baik, tulisan siaran pers Kementriaan BUMN yang dilansir pada laman bumn.go.id.
Melihat kenyataan ini, BUMN akan lakukan audit menyeluruh terhadap Dapen BUMN, yang bertujuan melihat bagaimana kondisi antara aset dan kewajiban yang dimiliki oleh para dapen BUMN ini. Mengingat karakteristik Dapen jangka panjang, maka pengelolaan investasi harus sesuai dan hati-hati.
Tercatat hingga Desember 2022, berdasarkan data OJK total aset neto seluruh Dapen mencapai Rp 340,706 triliun, bertumbuh dibanding 2021 sebesar Rp324,683. Sementara aset Dapen BUMN menurut kontan.com merujuk pada OJK senilai Rp 126 triliun.
Kartika menyatakan kemumgkinan ke depan resturkturisasi pengelolaan dana investasi Dapen BUMN akan diserahkan di bahwa Indonesia Financial Group (IFG). Seperti diketahui IFG sebagai holding industri keuangan BUMN, memiliki anak usaha Bahana TCW yang merupakan perusahaan Manajemen investasi (MI). Dimana, menurut Tiko, Bahana TCW memiliki keahlian dalam penataan portofolio.
Seperti diketahui untuk mengelola dana pensiun, selain lembaga Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) yang didirikan bank, perusahaan MI juga bisa mendirikan dan mengelola DP.
Direktur Bahana TCW Danica Adhitama mengungkapkan, pihaknya siap mengemban tugas yang diberikan pemerintah melalui Kementerian BUMN dalam pengelolaan dana pensiun BUMN. Ia mengklaim, Bahana TCW telah memiliki rekam jejak investasi baik dalam level nasional dan internasional selama 25 tahun. “Selain itu dengan cakupan produk investasi yang luas,” ujar Danica.
Sebagai informasi, saat ini sudah ada delapan Dapen BUMN yang melakukan kerjasama dengan Bahana TCW dalam hal pengelolaa dana investasi Dapen BUMN tersebut. Yaitu PT Angkasa Pura I, PT Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo), PT Asuransi Kerugian Jasa Raharja (Jasa Raharja), PT Nindya Karya (Persero), Perum Jasa Tirta II, Perum Peruri, PT Taspen (Persero) dan PT Wijaya Karya (Persero) Tbk.
Profesionalitas Pengelola Dapen
Menanggapi pernyataan Erick Thohir terkait 65% Dapen BUMN bermasalah, Pengamat Dana Pensiun, Syarifuddin Yunus, menilai, bisa jadi itu dikarenakan awalnya Dapen BUMN banyak yang mengambil dan menjalankan program DP Manfaat Pasti.
Dalam Manfaat Pasti, menurut Syarifuddin, Dapen itu berjanji akan memberikan kepastian nilai hasil pensiun yang akan diterima para pensiunan.”Problemnya, perusahaan berjanji dimuka, bahwa saat pensiun karyawan akan peroleh pensiun sekian miliar. Namun banyak pengelolanya sulit untuk memenuhi jumlah yang dijanjikan kepada karyawan yang memasuki pensiun,” tegas Syarifuddin.
Maklum, biasanya para direksi Dapen BUMN adalah karyawan BUMN tersebut yang sudah pensiun, atau yang ditempatkan. Padahal untuk mengelola dana puluhan triliunan rupiah dibutuhkan kecakapan, kompetensi dan kehandalan mengelola risiko investasi. Wajar jika tidak dapat memperoleh hasil invetasi maksimal.
Seharusnya, tambah Syarifuddin Dapen wajib memenuhi rasio kecukupan dana (RKD) 100%, dan jika tidak, maka kekurangan itu menjadi beban dan harus ditutupi perusahaan BUMN itu. RKD adalah suatu rasio di mana harus dipenuhi 100%. Artinya, jika karyawan, katakanlah pada Pertamina, sudah bekerja sekian tahun, gaji sekian dan jabatan tertentu maka berhak, katakanlah menerima pensiun Rp 1 miliar. Dan pengelola Dapen Pertamina harus menyiapkan dana Rp 1 miliar pada saat si karyawan pensiun. Namun pada kenyataannya pengelola Dapen hanya
mampu siapkan dana Rp 930 juta, sehingga Rp 70 jutanya ditanggung Pertamina sebagai perusahaan. Padahal Dapen dibuat agar tidak membebankan perusahaan saat menbayar pensiun karyawan.
Namun seiring perkembangan industri, banyak Dapen BUMN pun menerapkan program DP Iuran Pasti ataupun mendirikan dan menyerahkan kepada DPLK. Dan meninggalkan DP Manfaat Pasti serta mendirikan atau menyerahkan pengelolaannya kepada Dana Pensiun Lembaga Keuangan (DPLK) atau ke manajer investasi, seperti kepada TCW Bahana. (mas)