
JAKARTA- Pemerintah melalui Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementriaan Keuangan, mengakui telah menarik utang tunai pada tahun 2022 senilai Rp 66 Triliun. Dan rencananya tahun ini akan kembali menarik utang baru sekitar Rp 696,4 Triliun.
Demikian hal ini disampaikan oleh DJPPR Kemenkeu dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat pada Selasa 7 Februari 2023 di Jakarta. Dalam kesempatan itu, Suminto selaku Direktur DJPPR menyampaikan bahwa, selama tahun 2022 pihaknya telah menarik pinjaman luar negeri tunai senilai Rp 65,59 Triliun dari enam lembaga international, salah satunya World Bank. Mendengar penyampaian Sumitro, wakil ketua Komisi XI merespon dan meminta penjelasan seraya bertanya. “Penarikan pinjaman luar negeri itu kapan? Persetujuan yang kita berikan itu kapan? Di mekanisme mana? Karena kita nggak pernah membahas, misalnya ada pinjaman dengan World Bank, dengan mana-mana itu belum pernah kita bahas,” kata Dolfie Othniel Frederic Palit, seperti ditulis detikfinance.com. Menjawab itu, Suminto mengatakan bahwa dalam melaksanakan pinjaman luar negeri baik tunai maupun proyek memiliki proses panjang. Dalam perjanjian pinjaman itu diakui tidak melalui persetujuan DPR satu per satu, melainkan hasil kegiatannya yang akan dibahas dan disampaikan oleh kementerian/lembaga dengan komisi terkait.
Menurut Dolfie, berdasarkan Undang-Undang pinjaman yang membebani keuangan negara harus melalui persetujuan DPR RI. Untuk itu, dia minta ke depan harus ada persetujuan DPR RI jika tarik pinjaman luar negeri. Pada kesempatan itu, DJPPR juga menyampaikan rencana pinjaman luar negeri senilai Rp 696,4 Triliun lagi guna mendanai pembiayaan APBN Tahun Anggaran 2023. “Pemenuhan utang itu untuk membiayai defisit senilai Rp 598,2 Triliun dan pembiayaan non utang Rp 98,2 Triliun,” ujar Suminto yang disampaikan kepada anggota DPR Komisi XI dalam rapat tersebut. Suminto menjelaskan sumber pembiayaan utang tadi bakal berasal dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) sebesar 90 persen-95 persen dan pinjaman sekitar 5 persen-10 persen. Untuk utang dari SBN secara rinci adalah sekitar 69-75 persen dilakukan dengan menerbitkan SBN domestik non ritel, 10-15 persen melalui SBN ritel, dan 13-16 persen melalui SBN valuta asing (valas). Sedangkan, utang dari pinjaman secara rinci adalah 4-6 persen bakal dilakukan melalui pinjaman program, Rp32,6 triliun melalui pinjaman luar negeri proyek, dan Rp3,5 triliun melalui pinjaman dalam negeri.
Menurutnya, untuk penerbitan SBN akan dilakukan secara transparan. Lelang akan dilakukan secara bergantian dengan Surat Utang Negara (SUN) dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN). “Sebagian besar utang kita diterbitkan dalam bentuk SBN tentu cost of fund ditentukan suku bunga di market. Kita bersama otoritas yang lain mengelola sektor keuangan dengan baik yang berdampak pada suku bunga di market, dalam konteks spillover dari kondisi perekonomian dan sektor keuangan secara global,” pungkasnya, seperti ditulis CNNIndonesia.com.